SURABAYA – Pemutaran dua film yakni Koesno (2022, dokudrama) produksi TVRI Jawa Timur dan Jack (2019, fiksi) karya Ainun Ridho, sutradara film asal Surabaya, pada Minggu (14/8/2022) menandai kick-off program Festival Film Pendek Surabaya di salah satu Jaringan Bioskop ternama. Dalam konteks ekosistem perfilman dan momen kemerdekaan, setidaknya dua hal yang dapat dijadikan pelajaran terpetik.
Pertama, semakin menguatnya kolaborasi lintas institusi dan komunitas. Pemutaran film itu tidak lepas dari kolaborasi antara Pemerintah Kota Surabaya, TVRI, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga, serta komunitas-komunitas sejarah dan film seperti Begandring Soerabaia, Surabaya Film Associate (Surface), dan beberapa komunitas lainnya.
Sebelumnya, bukan hal mudah menjalin kolaborasi kreatif antara pemerintah kota, komunitas-komunitas, perguruan tinggi, dan media. Meskipun pada dasarnya masing-masing telah menyadari betapa penting berkolaborasi, langgam dan cara kerja yang berbeda satu sama lain kerap menjadi hambatan, baik secara administrasi-birokrasi maupun selera dan substansi karya kreatifnya.
Ketika Walikota Eri Cahyadi membaca naskah film Koesno olahan TVRI dari hasil riset bersama FIB UNAIR dan DKKOP Kota Surabaya, lalu menyatakan bersedia menjadi salah satu aktornya dengan memerankan tokoh Soekarno, semuanya antusias. Kesediaan Walikota adalah pesan gamblang bahwa kolaborasi pentahelix dalam perfilman dan kerja lintas komunitas di Surabaya bukanlah hal yang mustahil.
Pemutaran kembali film Jack yang pernah beredar di bioskop pada 2019 pun juga sama. Inisiatif Bidang Pariwisata DKKOP Kota Surabaya menginisiasi workshop dan festival film bertema kesurabayaan disambut antusias oleh komunitas-komunitas film. Setelah melalui proses dan pematangan konsep yang panjang, program ini sepakat memilih film Jack sebagai salah satu model “film Suroboyo”.
Kedua, tingginya antusiasme publik kota terhadap film bertema Surabaya. Film Jack (2019) diproduksi oleh hampir aktor, kru, latar, dan bahasa satus persen Surabaya. Bekerja sama dengan SMK Dr. Soetomo Surabaya, film fiksi ini mampu memotret drama masyarakat perkotaan yang multikultural dibalut dialek, celetukan, dan diksi Suroboyoan dengan kualitas sinematografis standar layar lebar.
Film yang pernah tayang di Madani Film Festival 2019 itu mengirim pesan: lokalitas dan lanskap Surabaya memiliki potensi kreatif untuk terus digali, dan yang terpenting, memiliki nilai pasar yang strategis.
Walikota Eri Cahyadi bahkan menikmati film Jack dari awal hingga akhir selama hampir satu setengah jam. Secara khusus, Eri mengapresiasi film dan sutradaranya, Ainun Rodho. “Yo iki film Suroboyo. Ayo Mas Ridho, nggawe film maneh lebih banyak lagi mengenalkan Surabaya ke nasional, bila perlu ke internasional.” Tutur Eri.
Pun demikian film Koesno, yang sebelumnya hanya diniatkan untuk diputar di televisi. Film dokudrama yang merekonstruksi kehidupan Soekarno itu membutuhkan set dan properti yang merepresentasikan Surabaya pada awal 1900-an.
Bagaimana itu bisa dilakukan dengan budget standar program televisi berdurasi 30 menit? Jawabannya: urun gawe. Seluruh pihak terkait saling menyumbangkan gagasan dan apapun yang dipunyai. Ada yang meminjamkan dan menghibahkan wardrobe, properti-properti lawasan, termasuk izin penggunaan rumah-rumah era kolonial dari warga sebagai set film.
Dinas Komunikasi dan Informasi (Diskominfo) Kota Surabaya dan DKKOP juga saling berkoordinasi dengan seluruh elemen produksi. Pada titik itulah nilai-nilai srawung dan solidaritas khas Suroboyo begitu terasa. Tidak hanya dalam konteks film, tapi juga perayaan hari kemerdekaan Indonesia.
Walikota bahkan betah berlama-lama di set film untuk mendiskusikan beragam improvisasi dengan seluruh kru film. Eri Cahyadi pula yang mendamba film yang seharusnya hanya tayang di monitor televisi itu diputar di layar lebar. Ratusan tiket ludes dipesan kurang dari sehari!
”Jadi kita bisa melihat dan mengetahui sejarah, bahwa Bung Karno bukan lahir di Blitar tetapi lahir di Kota Surabaya. Sehingga dengan semangat dan perjuangan Bung Karno yang mengikuti HOS Tjokroaminoto, artinya api perjuangan beliau menetes pada darah Arek-Arek Suroboyo, ” Ujar Eri.
Munculnya Eri di film tersebut juga sama sekali tidak terkesan asal-main. Kualitas vokal, ekspresi, dan kepercayaan dirinya cukup apik memerankan adegan saat Soekarno menyampaikan dua pidato bersejarahnya.
“Lebih dahulu satu koreksi kecil kepada Rektor; ditulis dalam piagam yang tadi dibacakan, bahwa saya dilahirkan bertanggal 6 Juni 1901 di Blitar, Itu salah. Saya dilahirkan di Surabaya, jadi saya arek Suroboyo, ” Kata Eri ketika memerankan pidato Soekarno.
Tidak sedikit penonton yang terkesan dan memuji cara Eri menginterpretasi dan memeragakan kembali nukilan pidato itu.
Akhirnya, publik Surabaya boleh mencatat bahwa salah satu momen berkesan pada perayaan Hari Kemerdekaan tahun ini adalah, alangkah sinematik dan solidnya kolaborasi lintas institusi di Surabaya. Terselip juga harapan, semoga ini bukan euforia Agustusan sesaat, melainkan akan tetap solid dan berkembang ke depannya.
Merdeka!
Penulis: Kukuh Yudha Karnanta MA, Dosen Prodi Bahasa dan Sastra Inggris FIB UNAIR